Prodi IKS UIN Jogja, Prodi Sosiologi, dan The Indonesian Institute Gelar Kuliah Kolaboratif tentang Kebebasan Akademik

Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial (IKS) Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Kalijaga bersama Prodi Sosiologi FISHUM UIN Sunan Kalijaga dan The Indonesian Institute (TII) menggelar kuliah kolaboratif bertajuk “Melindungi Kebebasan Akademik: Dari Peta Pelanggaran ke Aksi Kebijakan”, Rabu, 17 September 2025. Acara ini menghadirkan tiga narasumber utama: Prof. Dr. Arif Maftuhin (Dekan FDK/Guru Besar UIN Sunan Kalijaga), Adinda Tenriangke Muchtar, Ph.D(Direktur Eksekutif TII), dan Ahmad Uzair Fauzan, Ph.D (Dosen Sosiologi UIN Sunan Kalijaga).

Dalam sambutannya,Ketua Prodi IKS UIN Sunan Kalijaga, Muhammad Izzul Haq, Ph.D, menyampaikan apresiasinya atas kolaborasi tiga pihak dalam kegiatan ini. Menurutnya, forum semacam ini bukan hanya ajang akademik, melainkan juga bagian dari ikhtiar kampus untuk terlibat aktif dalam advokasi kebijakan publik.“Kami berharap hasil kajian ini dapat memperkuat perlindungan kebebasan akademik di Indonesia dan menjadi rujukan dalam penyusunan regulasi maupun praktik akademik di kampus-kampus,” ujarnya.

Kegiatan ini menjadi ruang penting untuk mendiseminasikan hasil riset terbaru TII mengenai kebebasan akademik di perguruan tinggi di Indonesia, sekaligus menguatkan kolaborasi lintas disiplin dalam merespons isu strategis yang menyangkut masa depan dunia akademik.

Keynote speaker, Prof. Dr. Arif Maftuhin, menegaskan bahwa kebebasan akademik tidak bisa dipisahkan dari komitmen sivitas akademika terhadap kebenaran ilmiah dan tanggung jawab sosial. “Kebebasan akademik bukan hanya hak dosen atau mahasiswa, tetapi juga amanah publik yang harus dijaga demi lahirnya ilmu pengetahuan yang berintegritas,” ungkapnya.

Ia menambahkan, dalam konteks demokrasi Indonesia, kampus harus menjadi ruang aman bagi kebebasan berpikir kritis, sekaligus melahirkan kontribusi nyata bagi perbaikan kebijakan publik.

Dalam paparannya, Adinda Tenriangke Muchtar. Ph.D memaparkan temuan riset TII bahwa sepanjang 2019 hingga pertengahan Juli 2025 terdapat 86 kasus pelanggaran kebebasan akademik di Indonesia. Pelanggaran itu meliputi kekerasan dan represi fisik, sanksi hukum dan administratif, pembubaran kegiatan, hingga pembatasan ekspresi dan informasi.

“Kebebasan akademik belum menjadi prioritas pembuat kebijakan, meski kerangka hukum sudah ada. Penegakan masih inkonsisten dan seringkali justru pelaku datang dari pihak yang seharusnya melindungi,” tegas Adinda.

TII merekomendasikan perlunya regulasi khusus perlindungan kebebasan akademik, penyusunan SOP darurat di kampus, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum, hingga revisi pasal multitafsir dalam UU ITE dan KUHP.

Sementara itu, Ahmad Uzair. Ph.D menekankan bahwa kebebasan akademik adalah pilar independensi yang memungkinkan kampus menjadi benteng kritis terhadap otoritarianisme. Ia mengingatkan, kebebasan akademik tidak berarti bebas tanpa batas.

“Kebebasan akademik berlaku selama tidak merendahkan martabat orang lain. Ada kompromi terbatas yang harus dijaga, misalnya demi hak hidup dan mencegah kekerasan,” ujar Uzair.

Menurutnya, budaya independensi dalam kampus akan menghidupkan akuntabilitas, mendorong kebebasan berpikir, dan menumbuhkan demokrasi deliberatif. Sebaliknya, budaya konformitas hanya akan melemahkan daya kritis sivitas akademika.

Usai paparan materi, acara dilanjutkan dengan diskusi interaktif antara narasumber dan peserta, yang terdiri dari mahasiswa dan dosen. Antusiasme peserta mencerminkan urgensi isu kebebasan akademik sebagai fondasi kehidupan ilmiah dan demokrasi di Indonesia.

Acara ditutup dengan penandatanganan MoU antara Prodi IKS dan TII untuk kerjasama pendidikan dan penelitian sekaligus penguatan aksi kebijakan, dilanjutkan dengan penandatanganan pernyataan sikap komitmen bersama untuk kebebasan akademik, yang mengacu pada Prinsip Surabaya tentang Kebebasan Akademik (2017).