DISKOTIK HMPS IKS Bahas Praktik Pekerjaan Sosial di Palestina dalam Bayang-Bayang Pendudukan

Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial (HMPS IKS) UIN Sunan Kalijaga kembali menggelar forum DISKOTIK (Diskusi Kolaborasi Terkait Isu Terkini) secara daring dengan tema “Praktik Pekerjaan Sosial di Palestina: Navigasi Kompleksitas & Resiliensi dalam Konteks Kolonial.” Diskusi yang diselenggarakan melalui Zoom Meeting ini berlangsung pada Kamis malam, 15 Mei 2025dan diikuti oleh lebih dari seratus peserta dari berbagai latar belakang organisasi dan komunitas.

Forum menghadirkan Shawqi Raji, MA, CAADC, seorang pekerja sosial profesional asal Palestina, sebagai narasumber utama. Diskusi dimoderatori sekaligus diterjemahkan oleh Putra Ramadhan.

Ketua Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial, Muhammad Izzul Haq, Ph.D, dalam sambutannya menyatakan harapannya agar forum ini dapat memperluas wawasan mahasiswa mengenai isu Palestina dari sudut pandang pekerjaan sosial. Terlebih bertepatan dengan Nakba Day yang diperingati setiap 15 Mei sebagai hari pengusiran bangsa Palestina yang mendorong terbentuknya Israel.Ketua HMPS IKS, Afifah Afra Azzahroh, turut menekankan pentingnya empati dan solidaritas mahasiswa terhadap situasi kemanusiaan global.

Pekerja Sosial Palestina: Bertahan dalam Situasi Ekstrem

Dalam paparannya, Shawqi Raji menyampaikan gambaran pilu kehidupan masyarakat Palestina di tengah pendudukan militer. “Pembunuhan dan kekerasan telah menjadi bagian dari rutinitas. Bahkan anak-anak dan perempuan tidak luput dari kekejaman,” ujarnya.

Ia menyoroti bahwa pernikahan dini, kekerasan seksual, dan trauma kolektif terus meningkat, terutama di kalangan perempuan dan anak-anak. Banyak perempuan menikah dalam usia yang sangat muda, bahkan sejak usia 6 tahun, dan mengalami kekerasan yang brutal.

Shawqi menguraikan dua tantangan besar dalam praktik pekerjaan sosial di Palestina. Pertama, tingginya kebutuhan layanan akibat banyaknya korban kekerasan, keluarga tahanan, dan anak-anak yang kehilangan orang tua. Kedua, hambatan akses layanan akibat pembatasan militer seperti pos pemeriksaan dan penutupan wilayah. “Saya sendiri tadi pulang kerja tiga jam lebih awal demi hadir di forum ini, tapi tertahan di checkpoint. Sepupu saya ditolak masuk pekan lalu hanya karena nama keluarga kami masuk daftar,” kisahnya.

Di tengah situasi krisis, pekerja sosial menghadapi dilema mendasar: bagaimana menawarkan dukungan psikososial kepada keluarga yang justru menuntut kebutuhan paling dasar—makanan dan tempat tinggal. “Di Gaza, orang-orang mengantre berjam-jam hanya untuk sepotong roti,” tambahnya.

Shawqi juga mengungkap keterbatasan sistem sosial lokal di Palestina. Layanan masih sangat bergantung pada bantuan LSM internasional, sementara lembaga pendidikan pekerjaan sosial belum mampu mencetak tenaga profesional dalam jumlah memadai. Selain itu, tantangan budaya seperti rendahnya kesadaran akan pentingnya dukungan psikologis serta praktik pernikahan dini turut menghambat proses pemberdayaan masyarakat.

Di akhir presentasi, Shawqi menutup dengan pernyataan menyentuh: “Kami adalah korban yang mencoba membantu korban lain. Pendudukan membuat bahkan kemanusiaan paling dasar menjadi perjuangan – tetapi kami tetap bertahan.”

Usai paparan Shawqi,ada tanggapan dari Lathiful Khuluk, Ph.D, dosen senior IKS, yang menyoroti kompleksitas situasi konflik di Palestina dan Israel yang menjadi konteks penting memahami praktik pekerjaan sosial disana.

Antusiasme Peserta dan Isu Kemanusiaan Global

Sesi diskusi dipenuhi antusiasme peserta. Gilang Indra Setiawan, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, menanyakan bagaimana pekerja sosial Palestina memberdayakan kelompok rentan di tengah sulitnya logistik. Shawqi menjawab bahwa komitmen para pekerja sosial tetap teguh, bahkan banyak yang melanjutkan pendidikan di luar negeri untuk kembali membangun kapasitas di dalam negeri.

Pertanyaan lainnya diajukan oleh Rizal, juga mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, mengenai peran pemerintah Palestina. Shawqi menjelaskan bahwa pemerintah bersikap terbuka terhadap kerja sama internasional, namun pembatasan militer Israel menjadi hambatan utama dalam distribusi bantuan kemanusiaan.

Forum ditutup dengan penyerahan sertifikat kepada narasumber dan sesi foto bersama secara daring. Penyelenggara berharap diskusi ini dapat membangkitkan kesadaran kolektif dan memperkuat pemahaman mahasiswa terhadap peran pekerjaan sosial dalam merespons krisis kemanusiaan global, khususnya di Palestina.

sumber:https://sites.google.com/view/hmpsiksuinsuka/events/diskotik-palestina-2025?authuser=0

Liputan Terkait

Liputan Terpopuler